Selasa, 30 Juni 2009

UAS psikokom

Proses Pengaruh Jangka Panjang Media dalam Fenomena Smackdown

Sekitar tiga tahun yang lalu, fenomena Smackdown mencuat di Indonesia. Muncul sejumlah kasus kematian ataupun kecelakaan fisik yang menimpa anak-anak lantaran mereka berkelahi ala pegulat Smackdown. Kejadian ini diduga kuat terinspirasi dari tayangan Smackdown yang sedang hangat ditayangkan di televisi. Konten kekerasan di televisi lagi-lagi dikambinghitamkan sebagai penyebab perilaku agresif audiensnya. Begitu kuatkah dampak televisi bagi audiens? Bagaimana sesungguhnya proses keterpengaruhan media pada sikap dan perilaku audiens? Sejumlah penelitian mencoba melakukan pendekatan kultivasi ataupun bullet theory dalam menganalisis kasus ini. Namun, makalah berikut mencoba mengupasnya dengan pendekatan berbeda, yakni model pengaruh jangka panjang media oleh McQuail. Penjabarannya kemudian akan dibagi dalam lima elemen utama, yakni sumber, isi, dampak pertama, dampak kedua, dan dampak ketiga.

Kronologi kasus

Pada penghujung tahun 2006 lalu, Komisi Nasional Perlindungan Anak meminta stasiun televisi Lativi segera menghentikan tayangan Smackdown dalam program siarannya. Acara gulat Amerika ini langsung divonis sebagai biang keladi agresifitas anak akibat konten kekerasan yang mendominasi tayangannya. Ultimatum ini tentunya bukan tanpa dasar yang jelas. Saat itu, Smackdown telah menjadi fenomena tersendiri – tayangan yang memakan korban jiwa.
Berita naas pertama datang dari Bandung. Reza Ikhsan Fadillah (9 tahun) tewas setelah menjadi korban praktek Smackdown tetangganya, yakni Restu, Iyo, dan Ii. Tubuh kecil siswa kelas III SD Cincin I itu mereka banting. Kepalanya dihujamkan ke atas lantai. Tangannya ditekuk, meski Reza mengaduh kesakitan. Setelah sepekan mengalami kesakitan, Reza dirujuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS). Dari hasil rontgen, diketahui tulang pangkal lengan kiri Reza terpisah. Selain itu, Reza juga mengalami cedera di bagian dalam kepala.
Smackdown juga makan korban di Jogja, Maryunani bersama sejumlah anak laki-laki di SD Wates 4 bermain gulat bebas di depan ruang kelas. Layaknya seperti pertandingan gulat, dua tim akan bertarung di arena. Tim pertama dipimpin Maryunani dan tim kedua dipimpin Dodi. Satu persatu teman Dodi dan Maryunani saling adu fisik. Mereka saling memukul, menjegal, mendorong dan membanting. Namun tidak dikira, saat Maryunani bertarung melawan Dodi, dia jatuh terpelanting di lantai ubin dengan kepala lebih dulu.
Kasus lain menimpa dua siswa Sekolah Dasar Sumbersari I Jember. Mereka mengalami luka serius pada kepala dan kaki. Kejadian itu bermula dari keinginan meniru adegan pertarungan layaknya di televisi pada saat jam istirahat sekolah. Ariansyah bertarung dengan Narendra, teman sekelasnya. Ia mengaku dipiting sampai kepala membentur tembok dan meja kelas sampai luka. Sedangkan Agus berkelahi ala Smackdown karena berebut tempat duduk di kantin dengan teman sekelasnya, Heru.
Di Situbondo, kejadian yang sama juga dialami Bagus Perkara, siswa kelas II SMP Negeri 1 Situbondo. Bagus mengalami patah tulang pada lengan kiri akibat memperagakan gaya Smackdown dengan Fathur, teman sekelasnya pada jam istirahat kedua di halaman sekolah. Bagus yang mengaku mengidolakan salah satu petarung bebas dari Amerika, Jhon Chena, itu memang senang memperagakan jurus-jurus Smackdown di rumahnya, hingga tempat tidurnya jebol.
Selain ilustrasi di atas, berikut adalah lampiran data yang termuat dalam buletin Studia edisi 319/tahun ke-7 pada tanggal 11 September 2006 :
1. Reza Ikhsan Fadillah, 9 tahun, siswa SD Cingcing 1 Ketapang, Soreang, Bandung (meninggal 16 november 2006),
2. Angga Rakasiwi (11 th), siswa SD 7 Babakan Surabaya (dijahit lima jahitan di kening),
3. Fayza Raviansyah (4 tahum 6 bulan), siswa TK Al-Wahab Margahayu, Bandung (luka, muntah darah),
4. Ahmad Firdaus (9), siswa kelas III SD 7 Babakan Surabaya (pingsan),
5. Nabila Amal (6 tahun 6 bulan), siswa kelas I SD Margahayu Raya 1, Bandung (patah tulang paha),
6. Mar Yunani, siswa kelas III SD Wates Kulonprogo, Yogyakarta (gagar otak)
7. Yudhit Bedha Ganang (10), siswa kelas V SDN 5 Duren Tiga, Jakarta Selatan (luka pada kepala dan kemaluan).
Kasus-kasus di atas menggambarkan bahwa tayangan Smackdown adalah fenomena yang tak bisa dianggap angin lalu. Selanjutnya, makalah ini akan mencoba menganalisis pengaruh jangka panjang media terhadap fenomena tersebut.

Sumber

Sumber mengacu pada medium dimana konten Smackdown dapat diakses, dalam hal ini sumber utamanya adalah televisi. Televisi termasuk medium yang sangat diminati oleh anak-anak karena sifatnya yang audio visual. Televisi juga mampu menghadirkan kajadian, peristiwa, atau khayalan yang tak terjangkau panca indera ke dalam kamar anak-anak. Tak heran, benda ini dijadikan sebagai sumber informasi dan sumber hiburan utama mereka.
Meskipun televisi adalah media penerangan dan pendidikan yang berguna dalam keseharian kita, tak jarang kontennya tidak kita butuhkan. Hal inilah yang kurang dimengerti oleh anak-anak sebagai audiens potensial televisi. Hal ini tecermin dalam praktek menonton Smackdown. Tayangan ini tentu bukan ditujukan bagi anak-anak jika dilihat dari konten dan jam siarannya, yakni pukul 21.00 s.d. 24.00 WIB.
Selain lewat televisi, tayangan Smackdown juga dapat diakses melalui sumber lain yakni VCD. Bukan hal yang sulit bagi anak sekolah untuk mendapatkan kepingan-kepingan VCD Smackdown tersebut. Disamping dijajakan secara massal di jalanan, VCD juga dengan mudah dapat disewa di rental. Format VCD justru lebih riskan untuk dikonsumsi anak-anak, karena jam menonton tidak dapat dikontrol dan praktek menonton dapat diulang setiap waktu. Anak-anak pun tak jarang hobi mengkoleksi tayangan dalam bentuk VCD ini.
Selain televisi dan VCD, sumber lainnya adalah lewat computer game dan console game. Perkembangan teknologi komunikasi memang telah menggiring kita pada sebuah era media baru. Paulsell turut berpendapat bahwa komputer adalah aplikasi elektronik yang telah memediasi proses komunikasi manusia tersebut. Kehadiran game komputer juga membuat kemampuan manusia dalam berkomunikasi semakin kompleks. Istilah Computer Mediated Communication (CMC) merupakan bentuk dimana komputer dapat memediasi proses komunikasi antarmanusia tersebut. Komputer, yang disebut-sebut sebagai katalisator media baru , pun menawarkan konten game Smackdown dalam interaktivitasnya. Interaktivitas tersebut berbentuk human computer interaction. Dalam console game pun terjadi hal yang serupa. Anak sekolah yang menggemari permainan playstasion sekali lagi disuguhi berbagai konten berbau Smackdown dari game interaktif tersebut.
Terlepas dari segala kemasan media audiovisual, anak-anak juga semakin dekat dengan tokoh-tokoh Smackdown dengan adanya poster, stiker, topeng, kartu, kaos, dan lain-lain. Segala atribut ini justru dapat mereka koleksi dengan harga terjangkau dari penjual mainan di sekolah. Tren mengkoleksi “apa yang sedang hot di televisi” menjadi terpaan lain yang harus diwaspadai dari tayangan Smackdown. Seperti kita ketahui diatas, sumber ini begitu dekat dengan anak-anak serta menawarkan format selain bentuk program siaran televisi.

Konten

Smackdown adalah sebuah acara/program gulat profesional milik WWE (World Wrestling Entertainment Inc.). Smackdown adalah salah satu dari tiga brand milik WWE yang berkaitan dengan gulat profesional. Dua brand lainnya adalah Extreme Championship Wrestling dan RAW. Menurut Vice President Corporate Communications WWE, Gary Davis, Smack Down bukanlah acara kompetisi olahraga. Sama dengan drama, Smack Down merupakan tayangan hiburan semata. Konten siarannya memang bergenre hiburan bagi orang dewasa dengan format gulat ala Amerika.
Jika ingin diilustrasikan, para petarung dalam Smackdown umumnya bertubuh kekar dan bertato. Otot-otot menyembul di hampir seluruh bagian tubuhnya. Adu jotos, saling banting dilakukan kedua pegulat itu di atas ring. Mereka pun tak jarang menggenggam leher lawan dan menghempaskan badan lawan ke atas kanvas ring. Penonton pun bersorak riang.
Para pemain Smackdown layaknya artis. Mereka beraksi mengikuti skenario. Tim WWE memiliki koreografer yang mengatur aksi mereka di atas ring. Jadi, adegan ketika mereka saling memukul, sebenarnya itu hanyalah pura-pura. Sang lawan memang terlihat kesakitan. Tapi, dia tak apa-apa, tak ada tandu yang diperlukan untuk melarikannya ke rumah sakit.
Kekerasan memang sarat dalam setiap adegan Smackdown tersebut. Bahkan, bisa dibilang, kekerasan yang dilakukan kerap bernuansa ekstrem. Tak jarang pula, beberapa alat seperti kursi, kayu, hingga palu juga digunakan oleh petarung untuk segera memenangkan pertandingan. Dengan begitu, kekerasan adalah konten yang secara simultan dikonsumsi oleh para audiens Smackdown. Terlepas dari adanya penyelewengan audiens, yakni anak-anak, terpaan kekerasan tetaplah nyata diterima audiensnya.
Penelitian yang dilakukan Eron , menunjukkan bahwa anak-anak sangat dipengaruhi oleh tayangan kekerasan yang mereka saksikan di layar televisi. American Psychological Association (APA) juga menunjukkan setumpukan riset mengenai hal ini dan menyimpulkan bahwa televisi memang berkorelasi positif dengan perilaku agresif. Effendy (1993), berpendapat bahwa kekhawatiran terhadap adegan kekerasan pada tayangan televisi berkaitan dengan pengaruh psikologis televisi pada khalayak. Efek tayangan kekerasan ini kemudian berkorelasi positif dengan tingkat agresifitas anak.
Agresi adalah setiap bentuk perilaku yang diarahkan untuk merusak atau melukai orang lain (Baron dan Byrne, 2004). Sears (1991) menyatakan bahwa agresi tidak sebatas pada perilaku namun mencakup juga maksud tindakan seseorang untuk merusak dan melukai orang lain.
Konsep mengenai efek kekerasan dengan agesifitas anak memang bukan hal asing dalam penelitian media. Jika ingin disimpulkan, konsep kekerasan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut (telah dimodifikasi dalam pelbagai varian) :
a) Media Violence, atau kekerasan di media adalah isi media yang mengandung unsur kekerasan. Bisa berupa unsur kekerasan yang terdapat dalam film, televisi, berita. dll. Pada level individu, yang diteliti adalah terpaan isi media yang mengandung kekerasan pada individu.
b) Violence didefinisikan Gerbner (1972) sebagai “the overt expression of physical force against others or self, or the commpelling action against one’s will on pain of being hurt or killed."
c) Aggressive Behavior, didefinisikan Berelson (1973) sebagai "inflicting bodily harm to other and damage to property."
Dalam kasus Smackdown, konten kekerasan tentu dengan nyata terlihat dalam tayangan. Adegan demi adegan yang digambarkan Smackdown menunjukkan adanya aktivitas yang mengandung unsur kekerasan dan cenderung menyakiti orang lain. Hal ini ditunjukkan lewat adegan memukul, meninju, menjambak, menendang, membanting, dan sebagainya yang muncul di acara tersebut.
Hal lain yang perlu diingat adalah, konten ini juga dimunculkan dalam pesan berformat VCD. Justru, adegan dalam VCD lebih minim sensor dan audiens dengan bebas dapat menikmati tayangan Smackdown dari seri satu ke seri berikutnya secara kontinyu.
Konten dalam game playstasion juga tak jauh berbeda, hanya saja format game membuat audiens terlibat secara interaktif. Mereka tak hanya menonton tetapi juga berperan sebagai karakter dalam acara Smackdown. Konten kekerasan dalam game bisa jauh lebih berbahaya bagi perilaku anak. Karena jika melihat film, anak hanya bisa menyaksikan tanpa perasaan terlibat. Saat bermain game, anak berperan aktif melakukan kekerasan itu. Game menawarkan agresi lebih kuat pada anak-anak dibandingkan tontonan di TV, karena jauh lebih hidup dan bersifat interaktif.
Sementara atribut-atribut seperti poster, stiker, topeng, dan lain-lain juga merupakan pesan media yang tidak dapat diabaikan. Pesan tersebut sedikit banyak memperkuat terpaan konten Smackdown dalam keseharian anak-anak.

Dampak pertama

Kali ini kita berbicara dalam ranah “dampak”. Menurut McQuail dalam Proses Keterpengaruhan Jangka Panjang oleh Media, terdapat tiga sekuen dampak media terhadap individu. Ketiga sekuan ini berjalan secara linear. Kali ini, kita akan bicara mengenai dampak pertama, bahwa media akan menyebabkan adanya ketersediaan pengetahuan, nilai, opini, dan budaya pada individu.
Jika kita sedikit mencuri ilmu Bandura dalam Social Learning Theory, Ia mengatakan bahwa, dalam proses belajar sosial, media massa adalah agen sosialisasi utama selain orang tua, keluarga besar, guru, sekolah, dan teman sepermainan. Dari media, anak-anak mengetahui hal-hal baru yang ia anggap sebagai realitas sosial. Dalam tahap ini, Gerbner melihat bahwa tayangan di televisi mungkin belum memiliki pengaruh signifikan, tetapi tentu menambah perbendaharaan sikap, opini, kepercayaan, dan pandangan mereka tentang lingkungan sosialnya.
John Lock, dalam Teori tabularsa, mengatakan bahwa jiwa anak-anak ibarat kertas putih dan diwarnai oleh apa yang mereka simak dan saksikan. Jika ditilik dari kasus Smackdown, media tentu telah menambah referensi anak tentang bentuk permainan “pukul-pukulan” baru. Para pemain Smackdown yang terdiri dari pria dewasa dan macho memberi nilai bahwa permainan tersebut cocok bagi kaum laki-laki yang tangguh. Maka, tak heran adu ketangguhan ini nantinya mendorong mereka untuk berlagak layaknya pegulat Smackdown.
Dalam beberapa kasus, tayangan tersebut bisa saja memberikan pemahaman yang keliru tentang rasa sakit dan kondisi tubuh manusia. Betapa tidak, tayangan yang menampilkan dua orang yang berbadan kekar saling hantam dengan gaya bebas namun tetap terlihat tidak kesakitan. Anak akan menganggap bahwa meloncat dan menjatuhkan tubuh di atas tubuh kawannya, misalnya, tidak akan menimbulkan rasa sakit apalagi cacat tubuh bahkan meninggal. Tayangan smack down memberikan metode agresi baru, yang mungkin belum pernah mereka ketahui sebelumnya. Menurut bandura lagi, penonton dapat mempelajari metode agresi baru setelah melihat contoh tayangan Smackdown ini. Olehnya diistilahkan dengan observational learning.
Anak juga memiliki sifat natural yakni: pertama, sulit membedakan mana yang baik atau buruk serta mana yang pantas ditiru atau diabaikan. Kedua, anak tak memiliki self censorship dan belum memiliki batasan nilai. Ketiga, anak nonton bersifat pasif dan tidak kritis. Maka, gambaran tentang tayangan Smackdown ditelan mentah-mentah oleh anak dan menambah ‘stock’ dalam memori dan resepsi mereka.

Dampak kedua

Dampak kedua dalam Teori Pengaruh Jangka Panjang Media ini berada pada ranah seleksi dan respon audiens. Sebelum masuk ke dalam kegiatan menyeleksi, manusia terlebih dahulu memunculkan kembali persepsinya tentang suatu hal. Persepsi adalah pengalaman tentang obyek, peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan.
Deddy Mulyana kemudian juga mengatakan bahwa persepsi adalah proses internal yang selanjutnya memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan manafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita. Persepsi adalah inti komunikasi, sedangkan penafsiran (interpretasi) adalah inti persepsi yang identik dengan penyandian-balik (decoding) dalam proses komunikasi.
Dalam proses menyeleksi, Gerbner menyebutkan adanya konsep pemirsa berat (heavy viewers) dan pemirsa ringan (light viewers). Saat televisi banyak mengekspos adegan kekerasan dalam Smackdown, maka penonton berat akan melihat dunia ini dipenuhi kekerasan, sementara itu penonton ringan akan melihat dunia tidak sesuram penonton berat.
Penonton berat dalam hal ini telah melewati proses dampak pertama media dengan terpaan tayangan kekerasan yang lebih banyak. Studi menunjukkan, akibat dari banyaknya menonton tayangan kekerasan, orang tidak lagi mudah merasakan penderitaan atau rasa sakit yang dialami orang lain. Dalam hal ini, anak-anak yang telah banyak menonton Smackdown akan semakin kebal dengan tayangan serupa. Ia menganggap kekerasan adalah hal yang wajar saja dan tidak berusaha menyaring tayangan tersebut. Dalam proses seleksi ia akan cenderung membiarkan dan mengabaikan konten kekerasan itu merasuk ke dalam benaknya.
Flora (2004) menyatakan bahwa secara biologis, ketika menonton tayangan yang menyakitkan atau kekerasan, aktivitas otak akan bergerak dari ranah bahasa di otak kiri ke otak kanan yang mendominasi proses emosi dan pengkodean gambaran visual. Itu akibatnya mengapa jika konten ini terlalu banyak, maka kita akan menjadi kebal dan tidak peka lagi dengan kekerasan.
Studi yang dilakukan di Amerika Serikat berjudul Television and Growing up: The Impact of Televised Violance (1972) menarik kesimpulan bahwa “Televisions may have the effect of stimulating aggresive behaviour, either through imitation or instigation.” Setelah seleksi terbatas oleh anak tersebut dilakukan, respon pun mulai dituai.
Menurut Surbandi, anak-anak masuk pada area berkurangnya rintangan kemampuan untuk menahan diri. Kemampuan ini berkurang sebagai dampak banyaknya konten kekerasan yang tidak terfilter dengan baik masuk ke benaknya. Kemudian muncullah kondisi desensitization,yakni kondisi kurangnya kepekaan emosional anak. Dalam tahap ini akan terjadi reaksi tayangan Smackdown mengajarkan agresi.

Dampak ketiga

Respon berupa perilaku agresif anak telah dikemukakan dalam dampak kedua. Pada sekuen terakhir, audiens akan melakukan proses sosialisasi, distribusikan pengetahuan, dan penetapan realitas sosial berdasar konten media yang selama ini ia tonton. Dennis dan Merril (1984) juga menambahkan bahwa dari televisi, orang dapat belajar banyak tentang informasi dan memahami tentang dunia dan bagaimana berperilaku dalam masyarakat, mempelajari hubungan sosial, dan nilai-nilai perilaku sosial.
Gerbner juga berpendapat bahwa media massa menanamkan sikap dan nilai tertentu. Media pun kemudian memelihara dan menyebarkan sikap dan nilai tersebut pada anggota masyarakat kemudian mengikatnya bersama-sama pula. Dengan kata lain, media mempengaruhi penonton dan penonton tersebut meyakininya. Bila kita kaitkan dengan fenomena Smackdown, maka anak-anak sebagai audiens pun akan memiliki kecenderungan nilai yang sama satu dengan lainnya, nilai di sini difokuskan pada tingkat agresivitas remaja tersebut.
Mencari pertalian antara televisi dengan nilai-nilai sosial, dapat dimulai dengan melihat bahwa di satu pihak muatan televisi mengandung nilai-nilai sosial, dan pada pihak lain televisi ikut membentuk nilai-nilai sosial yang menjadi acuan masyarakat. Yang pertama dilakukan adalah dengan menilai secara normatif muatan produk televisi. Berikutnya, menilai kandungan nilai-nilai sosial yang terdapat dalam muatan televisi berperan dalam proses sosialisasi, berbarengan dengan berbagai institusi sosial lainnya (DeFleur dan Ball-Rokeach, 1982).
Jika kandungan nilai sosial dari televisi yang tersosialisasi itu sejalan dengan nilai-nilai yang disosialisasikan oleh institusi sosial yang konvensional, tidak menimbulkan masalah. Akan lain halnya jika televisi dianggap mensosialisasikan nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai sosial yang konvensional dan diakui oleh institusi sosial yang mapan.
Secara normatif, Smackdown terbukti mengakibatkan kesemrawutan nilai-nilai sosial masyarakat setelah banyak anak menjadi korban tayangan ini. Institusi lain juga mengecam eksistensi tayangan Smackdown di Indonesia, seperti: KPI, Pemda, Kementrian Kesehatan, Kementrian Olahraga, sekolah dan keluarga anak-anak Indonesia. Maka, efek tayangan Smackdown di Indonesia terbukti tidak konstruktif bagi perkembangan mental anak dan tatanan sosial yang mengiringinya.
Menilik kasus Smackdown, fenomena ini sesungguhnya tidak perlu ditanggapi secara reaksioner. Para intelektual media tentu tahu pasti bahwa konten kekerasan dalam Smackdown nantinya akan diproses dalam tiga dampak linear sesuai bagan Keterpengaruhan Jangka Panjang oleh Media. Dilihat secara general, konsepsi McQuail tersebut dapat diterapkan dalam beberapa kasus lain, tentunya dengan sejumlah penyesuaian. Makalah ini hanya mencoba merefleksikan kembali kiranya teori-teori dampak media sungguh dapat diaplikasikan dalam menjelaskan sebuah fenomena sosial. Dibandingkan bersikap reaktif, tentu sumbangan pemikiran pengamat media lebih berguna untuk menyebarkan sikap preventif pada masyarakat, bukan?! Agar jangan lagi ada Smackdown lainnya bagi anak cucu kita. Semoga!

Daftar Pustaka

Abrar, Ana Nadhya. 2003. Teknologi Komunikasi: Perspektif Ilmu Komunikasi. Yogyakarta: LESFI.
Byrne, dan Baron. 2004. Psikologi Sosial. Jakarta: Erlangga.
Chen, Milton. 1996. Anak-anak dan Televisi: Buku Panduan Orangtua Mendampingi Anak-anak Menonton TV. Jakarta: PT Gramedia.
Littlejohn, Stephen W. 2002. Theories of Human Communication. New Mexico: Wadsworth.
McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar. Jakarta: Erlangga.
Mulyana, Deddy. 2002. Komunikasi Jenaka. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Nurudin. 2007. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Paulsell, Karen. “Computer and Communication”. Dalam John Downing, Ali Mohammadi, dan Sreberny, Annebelle. 1990. Questioning Media: A Critical Introduction. London: Sage Publications.
Rakhmat, Jalaludin. 2003. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Sastro Subroto, Darwanto. 1994. Produksi Acara Televisi. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Supriadi, Dedi. Tanpa Tahun. “Kontroversi tentang Dampak Kekerasan Siaran Televisi terhadap Perilaku Pemirsanya” dalam Bercinta dengan Televisi. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Surbakti, EB. 2008. Awas Tayangan Televisi. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Tankard, Werner J. Severin dan James W. 2005. Teori Komunikasi: Sejarah, Metode,dan Terapan di Dalam Media Massa. Jakarta: Prenada Media.

Makalah dan Slide Presentasi
Siregar, Ashadi. 1994. Televisi dan Nilai-nilai Sosial dalam Masyarakat. Disampaikan pada Lokakarya Penyusunan Draft Paket Pendidikan Media Televisi Untuk Anak-Anak, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia (The Indonesian Child Welfare Foundation), Jakarta 18 - 19 Mei 1994
Sulhan, Muhamad. 2009. Slide presentasi kuliah Psikologi Komunikasi dalam Dunia Maya yang Terperkara. Yogyakarta.
Vera, Nawiroh. 2005. Kekerasan dalam Media Massa; Perspektif Kultivasi. Jurnal Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Budi Luhur.

Situs
Djunaidy, Mahbub. 2006. Tiru Gaya Smackdown, Dua Murid Patah Tulang.Terarsip dalam Tempo Interaktif 2 Desember 2006. Terarsip dalam http://www.tempointeraktif.com/share/?act=TmV3cw==&type=UHJpbnQ=&media=bmV3cw==&y=JEdMT0JBTFNbeV0=&m=JEdMT0JBTFNbbV0=&d=JEdMT0JBTFNbZF0=&id=ODg4MzU=. Diakses tanggal 20 Juni 2009
Firman. 2006. Smackdown, Tayangan Tak Mendidik. Terarsip dalam http://www.cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=3346_0_3_460_M14. Diakses 20 Juni 2009.
Flora, Carlin.2004. Tragedy on The Tube. Terarsip dalam www.psychologytoday.com. Diakses tanggal 20 Juni 2009.
Kurniawan, Bagus. 2006. Smack Down Makan Korban di Yogya. Terarsip dalam Detikcom http://www.detiknews.com/read/2006/11/25/174722/712702/10/smack-down-makan-korban-di-yogya. Diakses tanggal 20 Juni 2009
Kurniawan, Edy. 2007. Pengaruh Smackdown terhadap Psikologis Anak-anak. Terarsip dalam http://edykurnia.wordpress.com/2007/12/19/pengaruh-Smackdown-terhadap-psikologis-anak-anak/. Diakses tanggal 20 Juni 2009.
Nugraha, Arya. 2006. Kasus Smackdown, Salah Siapa? Terarsip dalam http://aryanugraha.wordpress.com/2006/12/02/kasus-Smackdown-salah-siapa/. Diakses tanggal 20 Juni 2009.
Rfa/akb. 2006. Dengan 'Smackdown', Bocah Bergadai Nyawa. Terarsip dalam Harian Republika, 22 Nopember 2006. Terarsip dalam http://www.mediakonsumen.com/index.php?name=News&file=article&sid=276&theme=Printer. Diakses Tanggal 20 Juni 2009
Tanpa Nama. 2006. Tanpa Judul. Terarsip dalam http://www.tni-au.mil.id/forum/printable.asp?m=12645&mpage=2. Diakses tanggal 20 Juni 2009
Tanpa Nama. Tanpa tahun. Penelitian Universitas Kristen Petra. Terarsip dalam http://digilib.petra.ac.id/jiunkpe/s1/ikom/2007/jiunkpe-ns-s1-2007-51403079-6648-Smackdown-chapter2.pdf. Diakses tanggal 20 Juni 2009.
Teologi, Forum. 2007. Smackdown, Riwayatmu Kini. Terarsip dalam http://forumteologi.com/blog/2007/05/10/mixon-simarmata-2/. Diakses tanggal 20 Juni 2009.
Widodo, Slamet. 2008. Smack Down!!!. Terarsip dalam http://learning-of.slametwidodo.com/2008/02/01/smack-down/. Diakses pada tanggal 20 Juni 2009.
Wikipedia. Computer Mediated Comunication. Terarsip dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Computer_mediated_communication. Diakses tanggal 20 Juni 2009.

Minggu, 06 Januari 2008

Oh..aku dan miyong terluka!

Tenang sodara-sodara.
Kami tidak terluka parah.
Tak ada darah sedikit pun.
Cuma ada warna biru di kaki yang di duga sebagai memar.
Maklum, baru nyadar ternyata naek motor itu begitu berbahaya
(baca: kalo jatoh nyentuh tanah dan sukur-sukur ga ketimpa motor juga).
Accident ini terjadi karena hujan gerimis yang dikombinasikan dengan ngerem mendadak. Jadi, tips unuk anda sekalian, coba padukan hujan gerimis dengan atraksi lain yang lebih berguna. Contoh: coba sambil makan pisang goreng. Hmmm...dijamin lebih nikmat.

Tidaaaakk..duo bandel mulai beraksi!

Arya dan raka sama dengan dua sepupu super nakal yang merupakan kombinasi hebat untuk meniadakan rasa tentram di muka bumi.
Hampir sebagian orang seneng kali yaa..kalo adek sepupunya yang ada di luar kota datang berkunjung..
Saya juga seneng sih..tapi, kalo sepupu anda terdiri dari dua bocah SD ini..saya ga yakin perasaan anda masih enak-enak aja.
Raka bocah kelas 6 SD, muka bulet, kepala bulet, badan..buseet bulet juga.
Hobi khusus=jailin adeknya

Arya, 4tahun lebih muda, perawakan tidak sebulet raka, namun ada bakat.
Hobi khusus=nangis karena Raka

Pada umumnya mereka punya keahlian yang sama, yaitu: bertangan usil, suka nyorat-nyoret barang, ngutak-atik gadget, ngerusakin apapun yang baru pertama kali digenggam, saling pukul, saling tereak, dan pintar berkelit dari kesalahan.
Kalo mereka maen ke Jogja, bisa dipastikan aksi anarkis akan dimulai 10menit setelah kami melepas pelukan rindu. Dan tentunya kami cukup pintar untuk menyembunyikan barang-barang fragile atau barang lain yang saying untuk dihancurkan. Ga mau kan melihat barang-barang tersebut tertabrak scooter?

Tidur di malam..eh pagi hari

Ada kalanya jemuran yang menumpuk di musim hujan bisa diandaikan dengan tugas-tugas yang yang menumpuk di meja belajar. Menumpuk..meninggi..
Jika saat fighting telah tiba, tugas-tugas itu harus dihajar semalam suntuk baca..pikir..ketik..2jam..3jam..makan roti..ketik lagi..bernafas panjang..lalu print!
Setelah shutdown compie, hibernate otak kita, bobo! Jam dua pagi.

Semoga musim kemarau cepat datang, sehingga tugas-tugas ini tidak lagi bagai jemuran.

MIMI SI MALANG

Yeah, saya memang kurang mujur dalam pingsut.
Begitu pula dalam undian berhadiah payung cantik.
Kalo barang2 mall lagi diskon eh pas ga punya duit.
Waktu lagi ada cegatan polisi, eh lupa bawa SIM.
Yang bikin saya inget kalo masih ada kata beruntung,
ya tentu aja karena masih ada hari ini..

MIMI SI MAHASISWI

Usia delapan belas tahun telah mengantarkan saya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Saya seorang mahasiswi!
Gak ada lagi pakaian seragam.
Gak ada lagi upacara bendera hari Senin.
Guru namanya dosen. Ulangan namanya ujian.
Mata pelajaran namanya mata kuliah dan Jurusan Ilmu Komunikasi adalah jembatan saya menuju yang namanya masa depan.
Empat tahun ini adalah kesempatan.
Ayo maju mimi!
Menjadi mahasiswi yang kreatif, dinamis, dan pantang menyerah...

Rasakan 'Pameran'

Rasakan 'Pameran'

Wuih..baru empat bulan kuliah uda pameran? Hehe, jangan salah.
Saya yang jaga pameran maksudnya. Serius.
Tapi ini adalah pameran PPC yang super keren. Poto-potonya maksudnya.
Bagi yang gak percaya datanglah ke karta pustaka dari tanggal 22-27 Desember dari jam 9pagi-9malem (sebenernya pameran sih sudah lewat saat posting ini terbit, haha).
Btw, buat yang bertanya-tanya apakah itu PPC, sabar.
Akan saya jelaskan sesingkat-singkatnya.

Ini adalah sebuah club dengan nama panjang Publisia Photo Club.
Seperti namanya, kegiatan PPC adalah seputar masak-memasak. Haha.
Ya nggaklah. Fotografi pastinya.
Nah, ini adalah BSO (Badan Semi Otonom) dari KOMAKO (Korps Mahasiswa Komunikasi) UGM. Katakanlah semacam klub di jurusan komunikasi di kampus saya.
Sebagai anak baru, saya telah diberikan tiga kali diklat dasar.
Yeah, pastinya dengan kemampuan yang sangat basic dan nyaris tidak bakat ini saya dan teman-teman 2007 belum mampu ikut pameran PPC kali ini.

Back to pameran, PPC mengusung judul Rasakan 'Aku'.
Potret-potret yang dihadirkan sungguh menggugah hati dan sanubari (berlebihan!).
Tapi jujur, memang touchy loh foto-foto pameran tersebut.
Obyek-obyeknya mungkin sering kita jumpai, tapi sering juga kita abaikan.
Nah, ternyata begitu dipajang jadi pameran foto, baru kerasa ternyata feel-nya dalem juga. Sebut saja karya mas budi dimana obyeknya adalah seorang tunawisma yang tidur tergeletak di bawah bangunan megah restoran cepat saji amerika.
Ada juga karya mas meylan yang memotret dua anak jalanan yang sedang tertawa ceria, padahal kita juga tahu di balik itu hidup mereka gak semudah tawa mereka.
Satu lagi foto mas david yang menurut saya punya caption cukup unik -kamar mandi dalam, kamar tidur di luar- dimana obyek fotonya adalah seorang gelandangan yang tidur di teras rumah yang bertuliskan 'dikontrakkan'. Hehe.
Lewat pameran ini, saya yang awam juga bisa nyambung sama pesan si foto dan si fotografer.

Rasakan 'aku', rasakan 'mereka', dan rasakan pameran potonya ya teman-teman!